Kuliah Tauhid Yuk!
RANGKUMAN
KULIAH TAUHID
1.
Seluruh 'ulama sependapat, bahwa TAWHID adalah dasar yang paling pokok dalam
ajaran Islam
Memang menuntut
ilmu ini diwajibkan oleh Allah bagi setiap Muslim, maka sangatlah digalakkan
oleh Rasulullah SAW bagi setiap laki-laki maupun perempuan dari buaian sampai
ke liang lahad, bahkan kalau perlu dengan pergi merantau sejauh-jauhnya ke
negeri Cina sekalipun.
Tentu ilmu-ilmu
baru ini turut merangsang pengembangan daya pikir mereka sedemikian rupa,
sehingga mereka pun menjadi pemikir-pemikir baru yang mampu melahirkan
idea-idea baru pula. Namun tidak semua ilmu-ilmu baru ini bersifat positif. Di
antaranya ada pula yang bisa menyesatkan, namun dengan semangat kebebasan
berfikir yang telah diajarkan oleh Rasul Allah, para intelektual Muslim ketika
itu terus maju dan meruak pemikiran-pemikiran baru yang orisinal dan cemerlang.
Tawhid, yang
merupakan inti sari ajaran Islam, kemudian menjadi pembahasan di kalangan
cendekiawan Muslim, sehingga berkembang menjadi suatu ilmu yang menerangkan
bagaimana seharusnya seorang Muslim meng-Esa-kan Tuhannya.
Semangat
mencari ilmu yang diwajibkan oleh Allah dan digalakkan oleh Rasulullah ini
telah melahirkan banyak pemikir-pemikir Muslim, yang sampai sekarang pun masih
dikagumi orang akan mutu
Intelektualitas
mereka. Sayang, kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan ini tidak selalu
dibarengi oleh sarana penunjang yang paling pokok, yaitu perkembangan politik
yang sehat dan Islami.
Perbedaan
pendapat yang seyogyanya lumrah di kalangan pemikir-prmikir Islam selalu
disalah-gunakan oleh pemimpin -pemimpin politik kelas dua dan tiga demi
kepentingan politik mereka. Akibatnya, keretakan yang pada mulanya adalah
sekadar perbedaan pendapat dan interpretasi tentang masalah pemimpin dan
kepemimpinan berubah atau berkembang di kalangan ummat menjadi perpecahan di
bidang pemahaman dan penalaran aqidah dan nilai-nilai syari'ah. Mulailah pengikut-pengikut
tokoh ilmuwan yang satu menyalahkan pengikut-pengikut tokoh ilmuwan yang lain.
Pada puncaknya,
murid Abu-al-Hasan 'Ali bin Isma'il al Asy'ari (wafat 300 H), umpamanya, mulai
mengkafirkan murid Al-Hambali dan sebaliknya, perkembangan sesuatu penafsiran tidak lagi tergantung kepada
kebenaran objektif dari penafsiran tersebut, tetapi lebih banyak tergantung
kepada kedudukan politis dari penafsir. Penanding sesuatu pendapat yang tidak
beruntung dalam mendapatkan dukungan politik dari penguasa yang sudah tidak
Islami akan menanggung resiko yang sangat mengerikan.
Ketika ummat
Islam mencapai titik kelemahan mereka yang terendah akibat perpecahan dan
perang saudara yang berkepanjangan, maka mulailah satu persatu negeri dan ummat
jatuh ke bawah kekuasaan penjajahan negeri-negeri Kristen dan Barat. Dominasi
dari luar yang tidak mungkin tertahankan lagi ini tidak hanya menghisap
kehidupan materiel ummat, tetapi lebih parah lagi, karena ia sekaligus bercorak
penjajahan mental dan moral.
Ummat yang
semula berwatak pemimpin kemanusiaan, khalifah Allah, yang berwibawa serta
kreatif, sehingga dijuluki Allah sebagai "Ummat terbaik di tengah-tengah
kemanusiaan" (Khaira ummatin ukhrijat linnasi, Q. 3:110) telah berubah
menjadi manusia-manusia berwatak hamba yang hina dina (asfala sa-fili-na, Q.
95:5), karena ruh Tawhid telah sirna dari kalbu-kalbu mereka.
Dengan
sendirinya, pendidikan Islam tidak lagi terarah kepada penghayatan dan
penalaran akan nilai-nilai Islam, yang sebenarnya penuh dinamika, melainkan
telah berubah menjadi sekadar formalitas atau pengulangan-pengulangan formal
akan nilai-nilai penurunan (derivated values), yang sudah membaku dan kaku. masa
menurunnya kwalitas ummat ini telah mencapai titiknya yang terendah menjelang
pertengahan abad ke-14 Hijriyah yang lalu. Menjelang akhir abad itu dan
seterusnya di abad ke -15 ini, ummat Islam hampir di setiap penjuru dunia telah
bergerak kembali ke arah pendakian mutu dalam menghayati ajaran-ajaran agama
mereka.
Tuntutan ummat
akan pendidikan Islam yang bermutu mulai meningkat dari hari demi hari.
Kebutuhan akan buku-buku Islam terus meningkat, terutama buku-buku yang
menguraikan masalah pokok dan dasar dengan pendekatan yang sesuai dengan
pemikiran zamannya.
Hampir di
setiap kampus perguruan tinggi di seluruh negeri-negeri, yang didiami ummat
Islam, muncul gerakan-gerakan spontan untuk mempelajari kembali nilai-nilai
ajaran Islam. Bahkan di negeri-negen Barat sendiri di kampus-kampus universitas
di mana berkumpul mahasiswa- mahasiswa Islam bermunculan perkumpulan mahasiswa
Islam dengan tujuan mempelajari agama mereka dengan sungguh-sungguh, adalah
suatu kewajiban bagi setiap Muslim untuk mensyukuri ni'mat yang telah
dianugerahkan Allah SWT kepadanya. Maka di dalam rangka mensyukuri ni'mat Allah
yang berupa hidayah yang telah membangkitkan nilai-nilai
2.
Kepercayaan kepada Tuhan dan Mentawhidkan Tuhan
Sekadar percaya akan wujudnya Tuhan
belumlah cukup untuk menjadikan seseorang Islam, karena kepercayaan akan
wujudnya Tuhan bukan merupakan suatu prestasi. Lagi pula, kepercayaan ini sudah
ada dengan sendirinya tertanam di dalam hati sanubari setiap manusia sejak
lahir, mungkin
tanggapan tentang Tuhan itu berbeda bagi manusia yang satu dibandingkan dengan
manusia yang lain. Manusia yang masih sederhana pikirannya tentu sederhana pula
tanggapannya.
Tanggapan
manusia primitif, misalnya, masih bersifat dan berhubungan dengan tahayul,
kelenik, dan sihir. Tuhan bagi mereka ialah sesuatu yang langsung mempengaruhi
kehidupan mereka. Cara mereka menyatakan kepercayaan itupun sangat sederhana.
Mereka manifestasikan kepercayaan ini dengan menyembah sesuatu yang dirasakan
besar, hebat dan tangguh seperti gunung berapi, batu besar, pohon besar dan
rindang seperti pohon beringin dan sebagainya. Gunung berapi, umpamanya,
disangka mereka "mampu " memberikan kesuburan bagi tanah pertanian,
namun sekali-sekali bisa juga "murka " dengan mendatangkan bencana,
jika mereka telah banyak berbuat dosa. Contohnya ialah bangsa Yunani purba yang
percaya, bahwa Tuhan Zeos tinggal di puncak gunung Olympus. Demi mempersenang
hati Zeos ini mereka mengadakan permainan/pesta secara periodik yang dinamakan
"Olympiade", yang sekarang telah.menjadi tradisi dunia dengan pesta
olah raga Olympic.
Kalau sudah
agak meningkat kebudayaan mereka, maka Tuhan mereka gambarkan menyerupai
manusia atau binatang dan sebagainya. Ketika manusia sudah mulai hidup
berkelompok, maka Tuhan mungkin merupakan pemimpin yang berpengaruh karena
jasanya atau keberaniannya mengusir binatang buas atau gangguan kelompok
manusia lain. Mungkin pemimpin ini punya karisma, karena pidatonya hebat, serta
mudah difahami, walaupun oleh rakyat yang sederhana pendidikannya, sehingga ia
sangat dicintai dan dihormati, bahkan dipuja-puja dan disembah dan dinobatkan
menjadi raja diraja yang tak mungkin berbuat salah (The king can do no wrong),
atau pemimpin seumur hidup. Gelar-gelar yang muluk pun dipersembahkan kepada
pemimpin yang dianggap berjasa ini, seperti Juru Selamat, Pemimpin Besar
Revolusi, Bapak Kemerdekaan, Bapak Pembangunan dan sebagainya. Bahkah di antara
para Nabi pun ada yang diangkat menjadi Tuhan atau anak Tuhan, seperti Nabi Isa
AS.
Ketika akhirnya
pemimpin inipun mati juga, maka dibuatkan patungnya, kemudian disembah dan
dipuja, atau kuburannya dimuliakan (dikeramatkan), dibuatkan tugu dan
sebagainya. Maka mulailah manusia menyembah patung atau berhala. Pada mulanya
mungkin sekedar untuk dapat lebih mudah menkonsentrasikan pikiran di dalam
mengingat jasa-jasa sang pemimpin pujaan itu, namun akhirnya patung-patung itu
menjadi substitusi Tuhan sama sekali.
Jadi
kepercayaan akan adanya Tuhan dan kebutuhan menyembah -Nya (beribadah atau
berdo'a) sudah ada dengan sendirinya di dalam hati sanubari setiap manusia.
Oleh karena itu, tepat apa yang difirmankan Allah di dalam al-Qur'an:
"Tidak Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk mengabdi kepadaku
". (Q. 51:56).
Maka
watak pengabdi atau penyembah itu sudah sebadan (inherent) dengan setiap diri
manusia. Hanyalah pengungkapannya yang mungkin berbeda di antara manusia yang
satu dengan yang lain, tergantung kepada tingkat kwalitas pribadi manusia itu
masing-masing.
Membesarkan
diri (sombong) adalah penyakit yang paling dibenci oleh Allah, sehingga
Rasul-Allah pernah mcngatakan: "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam
hatinya ada rasa kibir (sombong) walaupun sebesar zarrah," (Muslim dan
Tirmidzi)
Kita dapat
menyimpulkan, bahwa rasa kibir (membesarkan diri) ini adalah penyakit jiwa yang
sengaja ditularkan iblis kepada manusia sesuai dengan tekadnya yang
disebutkannya di hadapan Allah ketika ia akan meninggalkan hadhirat Allah dalam
peristiwa tersebut di atas. Bukankah banyak di antara manusia yang merasa diri
mereka lebih hebat dari orang lain hanya karena keturunan mereka?
Di masa hidup
Rasul-Allah-pun para shahabat yang sudah terbiasa hidup dan dibesarkan di zaman
feodal jahiliah pernah mengagungkan Rasul sedemikian rupa, sehingga Rasul
terpaksa melarang dengan tegas. Ketika beberapa orang shahabat sedang
duduk-duduk berdiskusi tiba- tiba Rasul masuk ke dalam majelis mereka. Demi
hormat mereka kepada Rasul, maka mereka serentak berdiri menyambut Rasul, namun
Rasul bersabda:
"Duduklah, jangan kalian perlakukan (hormati) aku seperti
orang-orang musyrik memperlakukan kaisar mereka atau ummat Nasrani menghormati
Isa Al-Masih."
B.
TAWHID dan KEMERDEKAAN
Mentawhidkan
Allah adalah ajaran pokok yang disampaikan oleh setiap Nabi dan Rasul,
yang diutus oleh Allah sejak awal sejarah kemanusiaan. Namun sejarah
kemanusiaan penuh dengan kegagalan-kegagalan manusia dalam menghayati ajaran
tawhid ini, sehingga setiap kali ajaran yang murni dan exact ini perlu
diperbaharui atau dikoreksi oleh Rasul-rasil berikutnya sesudah mengalami
beberapa distorsi yang membahayakan nilai-nilai kemanusiaan.
Nilai
kemanusiaan yang paling utama ialah kemerdekaan. Kemerdekaanlah satu-satunya
nilai yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Tanpa kemerdekaan
manusia sebenarnya tidak mungkin menjalani hidupnya sebagai manusia. Dengan
perkataan lain, tanpa kemerdekaan pada hakikatnya manusia berhenti jadi manusia
atau tidak lagi berfungsi sebagai manusia. Oleh karena itu, harga diri setiap manusia
justru diukur dengan derajat kemerdekaan yang bisa dihayati dan dipertahankan
manusia itu.
Oleh karena
kehidupan antar sesama manusia ini senantiasa merupakan proses memberi-
dan-menerima (give-and-take) secara terus menerus (langgeng), kehidupan di tengah-tengah
keluarga haruslah bisa merupakan persiapan yang cukup untuk menghantarkan
seseorang agar dapat hidup ke tengah pergaulan masyarakat dalam proses
memberi-dan-menerima secara seimbang.
Apabila
ketidak-seimbangan terjadi --ia lebih banyak menerima atau lebih banyak
memberi-- maka dengan sendirinya ia dihadapkan dengan suatu tantangan yang
menentukan nilai kemerdekaannya, yang akan sebanding dengan nilai dirinya.
Kalau ia memberikan response terhadap ketidak-seimbangan ini sedemikian, sehingga
ia mengorbankan nilai kemerdekaannya, misalnya menjadi tergantung kepada pihak
yang telah terlalu banyak memberi kepadanya, maka harga dirinya sebagai manusia
dengan sendirinya jatuh atau sedikitnya menurun. Seberapa jauh jatuhnya ini
sebanding dengan seberapa jauh nilai kemerdekaan yang telah dikorbankannya.
Namun dalam
kenyataannya, lebih sering terjadi dalam kehidupan manusia di dunia ini, proses
pergaulan yang tidak seimbang, sehingga sejak dahulu telah tercipta dalam
sejarah kemanusiaan kehidupan masyarakat yang tindas menindas, hisap menghisap,
peras memeras dengan segala taktik dan tehnik yang bersangkutan dengan itu.
Semua ini merupakan bentuk-bentuk dari proses memberi-dan-menerima yang tak
seimbang.
Oleh karena mudahnya manusia terseleweng ke arah pemujaan akan
tokoh-tokoh yang sangat berjasa dan dikagumi serta dihormati inilah maka sejak
dahulu Rasul Allah sangat berhati-hati di dalam mendidikkan sikap tawhid ini
kepada para shahabat beliau.
1. Peranan Akal
dan Rasa
Rasa takut
maupun rasa hormat dan kagum serta rasa ketergantungan yang berlebih -lebihan
ini akan mudah dikontrol, bahkan bisa dicegah, jika manusia mau dan mampu
memanfa'atkan dua fasilitas lain yang hanya dikaruniakan oleh Allah sebagai
ni'mat-Nya yang tertinggi kepada manusia kedua fasililas ini ialah 'akal dan
rasa. Dengan 'akal ini manusia bisa menimbang, menganalisa, memahami, dan
akhirnya membuat atau menentukan pilihan yang paling baik untuknya. Sedangkan
dengan fasilitas rasa, manusia akan mampu meresapkan dan/atau menciptakan
keindahan, menghayati dan/atau menggubah kesenian. Dengan mengembangkan ni'mat
rasa, manusia akhirnya bisa menjadi pencinta kebenaran, keindahan atau
kesucian, dan keadilan; bukan sekedar menjadi penuntut kebenaran (hak) dan
ke'adilan.
Mensyukuri
ni'mat 'akal berarti mengasahnya atau melatihnya untuk memecahkan
masalah-masalah 'ilmu pengetahuan semahir-mahirnya. Mengasah rasa ialah dengan
melatihnya menghadapi tantangan-
2. Definisi
Tuhan
Tuhan (ilah) ialah sesuatu
yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga
manusia merelakan dirinya dikuasai (didominir) olehnya (sesuatu itu).
Al-ilah ialah: yang dipuja
dengan penuh kecintaan hati; tunduk kepadanya, merendahkan diri di hadapannya,
takut dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam
kesulitan, berdo'a dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta
perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan
terpaut cinta kepadanya. (Dr. Yusuf Qardawi: "Tauhid dan Fenomena
Kemusyrikan, (Haqiqat Al-Tauhid) terjemahan H. Abd. Rahim Haris, Pustaka Darul
Hikmah, Bima, hal. 26 - 27).
Berdasarkan definisi ini dapatlah
difahami, bahwa tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh
manusia.
C.
SYIRIK dan MUSYRIK
Lawan "syaraka"
ialah "khalasha" artinya memurnikan. Beras kelas satu yang masih
murni, tidak bercampur sebutir pun dengan beras jenis lain disebut beras yang
"Khalish". Jadi orang yang ikhlash bertuhankan hanya Allah ialah
orang yang benar-benar bertawhid. Inilah konsep yang paling sentral di dalam
ajaran Islam.
Mentawhidkan
Allah ini tidaklah semudah percaya akan wujudnya Allah. Mentawhidkan Allah
dengan ikhlash menghendaki suatu perjuangan yang sangat berat.Mentawhidkan
Allah adalah suatu jihad yang terbesar di dalam hidup ini.
Peringatan
al-Qur'an dan ucapan Rasul itu disampaikan karena Allah sendiri tahu, bahwa
memang tidak mudah mencapai tingkat tawhid yang ikhlash itu. Sangat banyak
kendala dan halangan yang harus diatasi jika orang ingin mencapai tingkat tawhid
yang murni ini.
1.
Alihatun atau
Tuhan-tuhan yang Populer
a. Harta atau Duit Sebagai Ilah
Tuhan lain atau "tuhan tandingan", yang paling populer di
zaman modern ini ialah duit, karena ternyata memang duit ini termasuk
"ilah" yang paling berkuasa di dunia ini. Di kalangan orang Amerika
terkenal istilah "The Almighty Dollar" (Dollar yang maha kuasa).
Memang telah ternyata di dunia, bahwa hampir semua yang ada di dalam hidup ini
dapat diperoleh dengan duit, bahkan dalam banyak hal harga diri manusia pun
bisa dibeli dengan duit.
b. Takhta
Sebagai Ilah
"Tuhan tandingan" kedua yang paling populer ialah pangkat
atau takhta, karena pangkat ini erat sekali hubungannya dengan duit tadi,
terutama di negeri-negeri yang sedang berkembang. Pangkat atau takhta bisa dengan mudah dipakai sebagai alat untuk mendapat duit
atau harta, terutama di negeri-negeri di mana kebanyakan rakyatnya masih
berwatak "nrimo", karena belum terdidik dan belum cerdas. Apalagi,
kalau di negeri itu kadar kebebasan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan
maupun tulisan, masih rendah.
c. Syahwat
Sebagai Ilah
Tuhan ketiga
yang paling populer pada setiap zaman ialah syahwat (sex). Demi memenuhi
keinginan akan sex ini banyak orang yang tega melakukan apa saja yang dia rasa
perlu. Orang yang sudah terlanjur mempertuhankan sex tidak akan bisa lagi
melihat batas-batas kewajaran, sehingga ia akan melakukan apa saja demi
kepuasan sex-nya.
2. Tuhan-tuhan
Triple "Ta"
Ketiga macam "tuhan-tuhan" tersebut di atas sebenarnya
sangat dekat hubungannya satu sama lain, karena yang satu akan lebih mudah
didapat dengan memperalat yang lainnya, sehingga tepat jika dikatakan
"trinita tuhan -tuhan" atau "Tuhan-tuhan tiga ta: harta, takhta,
dan wanita". Ketiga "ta" ini adalah tuhan-tandingan yang
selalu"disembah manusia dari zaman awal kejadiannya sehingga zaman nanti.
3. Takhta dan
Penyalahgunaannya
Demikian pula halnya orang yang
berpangkat tinggi, karena pangkat itu selalu sebanding dengan kekuasaan atau
pengaruh
4. Ilham yang
Kejam
Ada pula sebahagian manusia, yang mempertuhankan sesuatu yang
sebenarnya tiada manfaat baginya, bahkan merusak kesehatan diri dan
lingkungannya, tapi ia sudah terlanjur meng-ilah-kan sesuatu ini. Tuhan yang
satu ini demikian mencekam pengaruhnya atas diri manusia yang telah menjadi budaknya
itu, sehingga seolah-olah tak terlepaskan dari dirinya.
5. Tawhid
Seorang Muslim
Dengan bertuhan hanya kepada Allah
SWT, yang kekuasaan-Nya memang muthlak dan benar-benar nyata, pada hakikatnya
manusia akan mampu mcni'mati tingkat kemedekaan yang paling tinggi, yang
mungkin tercapai oleh manusia. Inilah yang dituju oleh setiap Muslim di dalam
hidupnya. Setiap Muslim yang betul-betul beriman adalah manusia yang paling
bebas dari segala macam bentuk keterikatan, kecuali keterikatan yang datang
dari Allah Penciptanya
6. Muhammad
Rasul Allah
Dengan kupasan yang berdasarkan logika semata kita hanya mampu
sampai kepada pengetahuan, bahwa yang pantas kita ilahkan hanyalah Allah, Yang
punya sifat-sifat Mutlak, Unique (Maha Tunggal), dan Distinct (Beda dengan Semua
- Muchalafatuhu lil hawadithi). Sifat-sifat ini penting, namun tidak akan
memenuhi kebutuhan manusia yang lebih asasi. Manusia sebagai makhluq yang juga
punya rasa di samping aqal menghendaki pula pemuasan fakultas rasa ini. Ketiga
sifat Allah tersebut hanya memenuhi kepuasan aqal, mereka belum menyentuh
hasrat rasa. Hasrat utama setiap manusia yang ingin hidup normal dan sehat
bathiniah tidak terpenuhi hanya dengan mengetahui adanya Allah Yang Maha
Mutlak, Maha Tunggal, dan Maha Berbeda dengan semua.
Demi memenuhi kebutuhan asasi manusia inilah, maka Allah dengan
sifat Rahman dan Rahim-Nya telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk berdialog
dengan manusia dan menerangkan sifat-sifat-Nya yang lain
yang dibutuhkan
manusia demi memuaskan hasrat aqal dan rasa secara seimbang. Salah satu ayat
disampaikan Allah kepada manusia dalam rangka memperkenalkan Diri- Nya kepada
manusia ialah: "Sesungguhnya ilah kamu Ilah Yang Satu, tiada ilah lain
selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang." (Q. 2:163).
Dengan ayat ini Allah telah
memperkenalkan Diri kepada manusia sebagai Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Sifat yang dua inilah yang sangat didambakan oleh manusia dalam hidupnya.
7. Dua Pribadi
Panutan Bagi Seluruh Kemanusiaan
a. Pribadi Ibrahim AS, dan Muhammad SAW merupakan dua tokoh
yang paling tepat untuk menggambarkan kwalitas kemanusiaan yang sempurna ini.
Ibrahim AS telah rela dibakar hidup- hidup karena kalimah "Laa ilaaha illa
Allah" ini; telah sedia diusir dari tanah airnya, telah rela dipindahkan
ke tanah gersang yang tak memberikan kehidupan di lembah bukit Faran (Makkah),
telah rela dipisahkan dengan anak tunggalnya Isma'il AS dan isterinya Sitti
Hajar, telah rela menyembelih anaknya Isma'il AS. Scmua ini dilakukan hanya
karena penghayatan beliau akan sikap "Laa ilaaha illa Allah", tiada
tuhan bagiku selain Allah SWT.
Karena itu beliau telah mendapat kehormatan yang tertinggi dari
seluruh manusia. Demikian Allah telah memerintahkan setiap Muslim bershalawat
kepada Ibrahim (salaamun 'ala Ibrahim), sebagai BAPAK KEMERDEKAAN atau BAPAK
KEMANUSIAAN yang pertama dan paling utama bagi seluruh manusia.
b. Ajaran Nabi Muhammad SAW
pun dikatakan merupakan lanjutan ajaran Nabi Ibrahim AS (Millata Ibrahim).
Pokok ajaran Ibrahim AS merupakan missi utama Muhammad SAW. Di dalam al-Qur'an
dijelaskan, bahwa bangsa Quraish, yaitu anak cucu Nabi Ibrahim melalui putera
pertama beliau Nabi Isma'il AS mempunyai kelebihan khusus. Nabi Ibrahim
diperintahkan Allah SWT mengembara menuju lembah bukit Faran yang ketika itu
dinamai orang Al-Bakkah, yang artinya lembah "tangisan". Lembah
dengan tanahnya yang gersang itu tidak memberikan kehidupan sama sekali,
sehingga setiap kafilah yang kehabisan bekal ketika sampai ke tempat itu pasti
akan mengalami mati kelaparan dan kehausan. Ibrahim AS membawa isteri beliau
Siti Hajar ke sana semata demi mematuhi perintah Allah. "Aku pergi
memenuhi perintah Tuhanku, Yang akan menunjuki aku." (Q. 37: 99).
0 komentar