Kuliah Tauhid Yuk!

by - Februari 01, 2019




RANGKUMAN KULIAH TAUHID
1. Seluruh 'ulama sependapat, bahwa TAWHID adalah dasar yang paling pokok dalam ajaran Islam

Memang menuntut ilmu ini diwajibkan oleh Allah bagi setiap Muslim, maka sangatlah digalakkan oleh Rasulullah SAW bagi setiap laki-laki maupun perempuan dari buaian sampai ke liang lahad, bahkan kalau perlu dengan pergi merantau sejauh-jauhnya ke negeri Cina sekalipun.
Tentu ilmu-ilmu baru ini turut merangsang pengembangan daya pikir mereka sedemikian rupa, sehingga mereka pun menjadi pemikir-pemikir baru yang mampu melahirkan idea-idea baru pula. Namun tidak semua ilmu-ilmu baru ini bersifat positif. Di antaranya ada pula yang bisa menyesatkan, namun dengan semangat kebebasan berfikir yang telah diajarkan oleh Rasul Allah, para intelektual Muslim ketika itu terus maju dan meruak pemikiran-pemikiran baru yang orisinal dan cemerlang.
Tawhid, yang merupakan inti sari ajaran Islam, kemudian menjadi pembahasan di kalangan cendekiawan Muslim, sehingga berkembang menjadi suatu ilmu yang menerangkan bagaimana seharusnya seorang Muslim meng-Esa-kan Tuhannya.
Semangat mencari ilmu yang diwajibkan oleh Allah dan digalakkan oleh Rasulullah ini telah melahirkan banyak pemikir-pemikir Muslim, yang sampai sekarang pun masih dikagumi orang akan mutu
Intelektualitas mereka. Sayang, kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan ini tidak selalu dibarengi oleh sarana penunjang yang paling pokok, yaitu perkembangan politik yang sehat dan Islami.
Perbedaan pendapat yang seyogyanya lumrah di kalangan pemikir-prmikir Islam selalu disalah-gunakan oleh pemimpin -pemimpin politik kelas dua dan tiga demi kepentingan politik mereka. Akibatnya, keretakan yang pada mulanya adalah sekadar perbedaan pendapat dan interpretasi tentang masalah pemimpin dan kepemimpinan berubah atau berkembang di kalangan ummat menjadi perpecahan di bidang pemahaman dan penalaran aqidah dan nilai-nilai syari'ah. Mulailah pengikut-pengikut tokoh ilmuwan yang satu menyalahkan pengikut-pengikut tokoh ilmuwan yang lain.
Pada puncaknya, murid Abu-al-Hasan 'Ali bin Isma'il al Asy'ari (wafat 300 H), umpamanya, mulai mengkafirkan murid Al-Hambali dan sebaliknya, perkembangan sesuatu penafsiran tidak lagi tergantung kepada kebenaran objektif dari penafsiran tersebut, tetapi lebih banyak tergantung kepada kedudukan politis dari penafsir. Penanding sesuatu pendapat yang tidak beruntung dalam mendapatkan dukungan politik dari penguasa yang sudah tidak Islami akan menanggung resiko yang sangat mengerikan.


Ketika ummat Islam mencapai titik kelemahan mereka yang terendah akibat perpecahan dan perang saudara yang berkepanjangan, maka mulailah satu persatu negeri dan ummat jatuh ke bawah kekuasaan penjajahan negeri-negeri Kristen dan Barat. Dominasi dari luar yang tidak mungkin tertahankan lagi ini tidak hanya menghisap kehidupan materiel ummat, tetapi lebih parah lagi, karena ia sekaligus bercorak penjajahan mental dan moral.
Ummat yang semula berwatak pemimpin kemanusiaan, khalifah Allah, yang berwibawa serta kreatif, sehingga dijuluki Allah sebagai "Ummat terbaik di tengah-tengah kemanusiaan" (Khaira ummatin ukhrijat linnasi, Q. 3:110) telah berubah menjadi manusia-manusia berwatak hamba yang hina dina (asfala sa-fili-na, Q. 95:5), karena ruh Tawhid telah sirna dari kalbu-kalbu mereka.
Dengan sendirinya, pendidikan Islam tidak lagi terarah kepada penghayatan dan penalaran akan nilai-nilai Islam, yang sebenarnya penuh dinamika, melainkan telah berubah menjadi sekadar formalitas atau pengulangan-pengulangan formal akan nilai-nilai penurunan (derivated values), yang sudah membaku dan kaku. masa menurunnya kwalitas ummat ini telah mencapai titiknya yang terendah menjelang pertengahan abad ke-14 Hijriyah yang lalu. Menjelang akhir abad itu dan seterusnya di abad ke -15 ini, ummat Islam hampir di setiap penjuru dunia telah bergerak kembali ke arah pendakian mutu dalam menghayati ajaran-ajaran agama mereka.
Tuntutan ummat akan pendidikan Islam yang bermutu mulai meningkat dari hari demi hari. Kebutuhan akan buku-buku Islam terus meningkat, terutama buku-buku yang menguraikan masalah pokok dan dasar dengan pendekatan yang sesuai dengan pemikiran zamannya.
Hampir di setiap kampus perguruan tinggi di seluruh negeri-negeri, yang didiami ummat Islam, muncul gerakan-gerakan spontan untuk mempelajari kembali nilai-nilai ajaran Islam. Bahkan di negeri-negen Barat sendiri di kampus-kampus universitas di mana berkumpul mahasiswa- mahasiswa Islam bermunculan perkumpulan mahasiswa Islam dengan tujuan mempelajari agama mereka dengan sungguh-sungguh, adalah suatu kewajiban bagi setiap Muslim untuk mensyukuri ni'mat yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya. Maka di dalam rangka mensyukuri ni'mat Allah yang berupa hidayah yang telah membangkitkan nilai-nilai
2. Kepercayaan kepada Tuhan dan Mentawhidkan Tuhan
Sekadar percaya akan wujudnya Tuhan belumlah cukup untuk menjadikan seseorang Islam, karena kepercayaan akan wujudnya Tuhan bukan merupakan suatu prestasi. Lagi pula, kepercayaan ini sudah ada dengan sendirinya tertanam di dalam hati sanubari setiap manusia sejak lahir, mungkin tanggapan tentang Tuhan itu berbeda bagi manusia yang satu dibandingkan dengan manusia yang lain. Manusia yang masih sederhana pikirannya tentu sederhana pula tanggapannya.
Tanggapan manusia primitif, misalnya, masih bersifat dan berhubungan dengan tahayul, kelenik, dan sihir. Tuhan bagi mereka ialah sesuatu yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka. Cara mereka menyatakan kepercayaan itupun sangat sederhana. Mereka manifestasikan kepercayaan ini dengan menyembah sesuatu yang dirasakan besar, hebat dan tangguh seperti gunung berapi, batu besar, pohon besar dan rindang seperti pohon beringin dan sebagainya. Gunung berapi, umpamanya, disangka mereka "mampu " memberikan kesuburan bagi tanah pertanian, namun sekali-sekali bisa juga "murka " dengan mendatangkan bencana, jika mereka telah banyak berbuat dosa. Contohnya ialah bangsa Yunani purba yang percaya, bahwa Tuhan Zeos tinggal di puncak gunung Olympus. Demi mempersenang hati Zeos ini mereka mengadakan permainan/pesta secara periodik yang dinamakan "Olympiade", yang sekarang telah.menjadi tradisi dunia dengan pesta olah raga Olympic.

Kalau sudah agak meningkat kebudayaan mereka, maka Tuhan mereka gambarkan menyerupai manusia atau binatang dan sebagainya. Ketika manusia sudah mulai hidup berkelompok, maka Tuhan mungkin merupakan pemimpin yang berpengaruh karena jasanya atau keberaniannya mengusir binatang buas atau gangguan kelompok manusia lain. Mungkin pemimpin ini punya karisma, karena pidatonya hebat, serta mudah difahami, walaupun oleh rakyat yang sederhana pendidikannya, sehingga ia sangat dicintai dan dihormati, bahkan dipuja-puja dan disembah dan dinobatkan menjadi raja diraja yang tak mungkin berbuat salah (The king can do no wrong), atau pemimpin seumur hidup. Gelar-gelar yang muluk pun dipersembahkan kepada pemimpin yang dianggap berjasa ini, seperti Juru Selamat, Pemimpin Besar Revolusi, Bapak Kemerdekaan, Bapak Pembangunan dan sebagainya. Bahkah di antara para Nabi pun ada yang diangkat menjadi Tuhan atau anak Tuhan, seperti Nabi Isa AS.
Ketika akhirnya pemimpin inipun mati juga, maka dibuatkan patungnya, kemudian disembah dan dipuja, atau kuburannya dimuliakan (dikeramatkan), dibuatkan tugu dan sebagainya. Maka mulailah manusia menyembah patung atau berhala. Pada mulanya mungkin sekedar untuk dapat lebih mudah menkonsentrasikan pikiran di dalam mengingat jasa-jasa sang pemimpin pujaan itu, namun akhirnya patung-patung itu menjadi substitusi Tuhan sama sekali.
Jadi kepercayaan akan adanya Tuhan dan kebutuhan menyembah -Nya (beribadah atau berdo'a) sudah ada dengan sendirinya di dalam hati sanubari setiap manusia. Oleh karena itu, tepat apa yang difirmankan Allah di dalam al-Qur'an: "Tidak Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk mengabdi kepadaku ". (Q. 51:56).
Maka watak pengabdi atau penyembah itu sudah sebadan (inherent) dengan setiap diri manusia. Hanyalah pengungkapannya yang mungkin berbeda di antara manusia yang satu dengan yang lain, tergantung kepada tingkat kwalitas pribadi manusia itu masing-masing.
Membesarkan diri (sombong) adalah penyakit yang paling dibenci oleh Allah, sehingga Rasul-Allah pernah mcngatakan: "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada rasa kibir (sombong) walaupun sebesar zarrah," (Muslim dan Tirmidzi)
Kita dapat menyimpulkan, bahwa rasa kibir (membesarkan diri) ini adalah penyakit jiwa yang sengaja ditularkan iblis kepada manusia sesuai dengan tekadnya yang disebutkannya di hadapan Allah ketika ia akan meninggalkan hadhirat Allah dalam peristiwa tersebut di atas. Bukankah banyak di antara manusia yang merasa diri mereka lebih hebat dari orang lain hanya karena keturunan mereka?
Di masa hidup Rasul-Allah-pun para shahabat yang sudah terbiasa hidup dan dibesarkan di zaman feodal jahiliah pernah mengagungkan Rasul sedemikian rupa, sehingga Rasul terpaksa melarang dengan tegas. Ketika beberapa orang shahabat sedang duduk-duduk berdiskusi tiba- tiba Rasul masuk ke dalam majelis mereka. Demi hormat mereka kepada Rasul, maka mereka serentak berdiri menyambut Rasul, namun Rasul bersabda:
"Duduklah, jangan kalian perlakukan (hormati) aku seperti orang-orang musyrik memperlakukan kaisar mereka atau ummat Nasrani menghormati Isa Al-Masih."
B. TAWHID dan KEMERDEKAAN

Mentawhidkan Allah adalah ajaran pokok yang disampaikan oleh setiap Nabi dan Rasul, yang diutus oleh Allah sejak awal sejarah kemanusiaan. Namun sejarah kemanusiaan penuh dengan kegagalan-kegagalan manusia dalam menghayati ajaran tawhid ini, sehingga setiap kali ajaran yang murni dan exact ini perlu diperbaharui atau dikoreksi oleh Rasul-rasil berikutnya sesudah mengalami beberapa distorsi yang membahayakan nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai kemanusiaan yang paling utama ialah kemerdekaan. Kemerdekaanlah satu-satunya nilai yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Tanpa kemerdekaan manusia sebenarnya tidak mungkin menjalani hidupnya sebagai manusia. Dengan perkataan lain, tanpa kemerdekaan pada hakikatnya manusia berhenti jadi manusia atau tidak lagi berfungsi sebagai manusia. Oleh karena itu, harga diri setiap manusia justru diukur dengan derajat kemerdekaan yang bisa dihayati dan dipertahankan manusia itu.
Oleh karena kehidupan antar sesama manusia ini senantiasa merupakan proses memberi- dan-menerima (give-and-take) secara terus menerus (langgeng), kehidupan di tengah-tengah keluarga haruslah bisa merupakan persiapan yang cukup untuk menghantarkan seseorang agar dapat hidup ke tengah pergaulan masyarakat dalam proses memberi-dan-menerima secara seimbang.
Apabila ketidak-seimbangan terjadi --ia lebih banyak menerima atau lebih banyak memberi-- maka dengan sendirinya ia dihadapkan dengan suatu tantangan yang menentukan nilai kemerdekaannya, yang akan sebanding dengan nilai dirinya. Kalau ia memberikan response terhadap ketidak-seimbangan ini sedemikian, sehingga ia mengorbankan nilai kemerdekaannya, misalnya menjadi tergantung kepada pihak yang telah terlalu banyak memberi kepadanya, maka harga dirinya sebagai manusia dengan sendirinya jatuh atau sedikitnya menurun. Seberapa jauh jatuhnya ini sebanding dengan seberapa jauh nilai kemerdekaan yang telah dikorbankannya.
Namun dalam kenyataannya, lebih sering terjadi dalam kehidupan manusia di dunia ini, proses pergaulan yang tidak seimbang, sehingga sejak dahulu telah tercipta dalam sejarah kemanusiaan kehidupan masyarakat yang tindas menindas, hisap menghisap, peras memeras dengan segala taktik dan tehnik yang bersangkutan dengan itu. Semua ini merupakan bentuk-bentuk dari proses memberi-dan-menerima yang tak seimbang.
Oleh karena mudahnya manusia terseleweng ke arah pemujaan akan tokoh-tokoh yang sangat berjasa dan dikagumi serta dihormati inilah maka sejak dahulu Rasul Allah sangat berhati-hati di dalam mendidikkan sikap tawhid ini kepada para shahabat beliau.

1. Peranan Akal dan Rasa
Rasa takut maupun rasa hormat dan kagum serta rasa ketergantungan yang berlebih -lebihan ini akan mudah dikontrol, bahkan bisa dicegah, jika manusia mau dan mampu memanfa'atkan dua fasilitas lain yang hanya dikaruniakan oleh Allah sebagai ni'mat-Nya yang tertinggi kepada manusia kedua fasililas ini ialah 'akal dan rasa. Dengan 'akal ini manusia bisa menimbang, menganalisa, memahami, dan akhirnya membuat atau menentukan pilihan yang paling baik untuknya. Sedangkan dengan fasilitas rasa, manusia akan mampu meresapkan dan/atau menciptakan keindahan, menghayati dan/atau menggubah kesenian. Dengan mengembangkan ni'mat rasa, manusia akhirnya bisa menjadi pencinta kebenaran, keindahan atau kesucian, dan keadilan; bukan sekedar menjadi penuntut kebenaran (hak) dan ke'adilan.
Mensyukuri ni'mat 'akal berarti mengasahnya atau melatihnya untuk memecahkan masalah-masalah 'ilmu pengetahuan semahir-mahirnya. Mengasah rasa ialah dengan melatihnya menghadapi tantangan-




2. Definisi Tuhan
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai (didominir) olehnya (sesuatu itu).
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati; tunduk kepadanya, merendahkan diri di hadapannya, takut dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo'a dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya. (Dr. Yusuf Qardawi: "Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan, (Haqiqat Al-Tauhid) terjemahan H. Abd. Rahim Haris, Pustaka Darul Hikmah, Bima, hal. 26 - 27).
Berdasarkan definisi ini dapatlah difahami, bahwa tuhan itu bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia.
C. SYIRIK dan MUSYRIK
Lawan "syaraka" ialah "khalasha" artinya memurnikan. Beras kelas satu yang masih murni, tidak bercampur sebutir pun dengan beras jenis lain disebut beras yang "Khalish". Jadi orang yang ikhlash bertuhankan hanya Allah ialah orang yang benar-benar bertawhid. Inilah konsep yang paling sentral di dalam ajaran Islam.
Mentawhidkan Allah ini tidaklah semudah percaya akan wujudnya Allah. Mentawhidkan Allah dengan ikhlash menghendaki suatu perjuangan yang sangat berat.Mentawhidkan Allah adalah suatu jihad yang terbesar di dalam hidup ini.
Peringatan al-Qur'an dan ucapan Rasul itu disampaikan karena Allah sendiri tahu, bahwa memang tidak mudah mencapai tingkat tawhid yang ikhlash itu. Sangat banyak kendala dan halangan yang harus diatasi jika orang ingin mencapai tingkat tawhid yang murni ini.
1.    Alihatun atau Tuhan-tuhan yang Populer
 a. Harta atau Duit Sebagai Ilah
Tuhan lain atau "tuhan tandingan", yang paling populer di zaman modern ini ialah duit, karena ternyata memang duit ini termasuk "ilah" yang paling berkuasa di dunia ini. Di kalangan orang Amerika terkenal istilah "The Almighty Dollar" (Dollar yang maha kuasa). Memang telah ternyata di dunia, bahwa hampir semua yang ada di dalam hidup ini dapat diperoleh dengan duit, bahkan dalam banyak hal harga diri manusia pun bisa dibeli dengan duit.
b. Takhta Sebagai Ilah
"Tuhan tandingan" kedua yang paling populer ialah pangkat atau takhta, karena pangkat ini erat sekali hubungannya dengan duit tadi, terutama di negeri-negeri yang sedang berkembang. Pangkat atau takhta bisa dengan mudah dipakai sebagai alat untuk mendapat duit atau harta, terutama di negeri-negeri di mana kebanyakan rakyatnya masih berwatak "nrimo", karena belum terdidik dan belum cerdas. Apalagi, kalau di negeri itu kadar kebebasan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan, masih rendah.
c. Syahwat Sebagai Ilah
Tuhan ketiga yang paling populer pada setiap zaman ialah syahwat (sex). Demi memenuhi keinginan akan sex ini banyak orang yang tega melakukan apa saja yang dia rasa perlu. Orang yang sudah terlanjur mempertuhankan sex tidak akan bisa lagi melihat batas-batas kewajaran, sehingga ia akan melakukan apa saja demi kepuasan sex-nya.

2. Tuhan-tuhan Triple "Ta"
Ketiga macam "tuhan-tuhan" tersebut di atas sebenarnya sangat dekat hubungannya satu sama lain, karena yang satu akan lebih mudah didapat dengan memperalat yang lainnya, sehingga tepat jika dikatakan "trinita tuhan -tuhan" atau "Tuhan-tuhan tiga ta: harta, takhta, dan wanita". Ketiga "ta" ini adalah tuhan-tandingan yang selalu"disembah manusia dari zaman awal kejadiannya sehingga zaman nanti.
3. Takhta dan Penyalahgunaannya
Demikian pula halnya orang yang berpangkat tinggi, karena pangkat itu selalu sebanding dengan kekuasaan atau pengaruh
4. Ilham yang Kejam
Ada pula sebahagian manusia, yang mempertuhankan sesuatu yang sebenarnya tiada manfaat baginya, bahkan merusak kesehatan diri dan lingkungannya, tapi ia sudah terlanjur meng-ilah-kan sesuatu ini. Tuhan yang satu ini demikian mencekam pengaruhnya atas diri manusia yang telah menjadi budaknya itu, sehingga seolah-olah tak terlepaskan dari dirinya.
5. Tawhid Seorang Muslim
Dengan bertuhan hanya kepada Allah SWT, yang kekuasaan-Nya memang muthlak dan benar-benar nyata, pada hakikatnya manusia akan mampu mcni'mati tingkat kemedekaan yang paling tinggi, yang mungkin tercapai oleh manusia. Inilah yang dituju oleh setiap Muslim di dalam hidupnya. Setiap Muslim yang betul-betul beriman adalah manusia yang paling bebas dari segala macam bentuk keterikatan, kecuali keterikatan yang datang dari Allah Penciptanya
6. Muhammad Rasul Allah
Dengan kupasan yang berdasarkan logika semata kita hanya mampu sampai kepada pengetahuan, bahwa yang pantas kita ilahkan hanyalah Allah, Yang punya sifat-sifat Mutlak, Unique (Maha Tunggal), dan Distinct (Beda dengan Semua - Muchalafatuhu lil hawadithi). Sifat-sifat ini penting, namun tidak akan memenuhi kebutuhan manusia yang lebih asasi. Manusia sebagai makhluq yang juga punya rasa di samping aqal menghendaki pula pemuasan fakultas rasa ini. Ketiga sifat Allah tersebut hanya memenuhi kepuasan aqal, mereka belum menyentuh hasrat rasa. Hasrat utama setiap manusia yang ingin hidup normal dan sehat bathiniah tidak terpenuhi hanya dengan mengetahui adanya Allah Yang Maha Mutlak, Maha Tunggal, dan Maha Berbeda dengan semua.
Demi memenuhi kebutuhan asasi manusia inilah, maka Allah dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk berdialog dengan manusia dan menerangkan sifat-sifat-Nya yang lain
yang dibutuhkan manusia demi memuaskan hasrat aqal dan rasa secara seimbang. Salah satu ayat disampaikan Allah kepada manusia dalam rangka memperkenalkan Diri- Nya kepada manusia ialah: "Sesungguhnya ilah kamu Ilah Yang Satu, tiada ilah lain selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang." (Q. 2:163).
Dengan ayat ini Allah telah memperkenalkan Diri kepada manusia sebagai Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Sifat yang dua inilah yang sangat didambakan oleh manusia dalam hidupnya.
7. Dua Pribadi Panutan Bagi Seluruh Kemanusiaan
a. Pribadi Ibrahim AS, dan Muhammad SAW merupakan dua tokoh yang paling tepat untuk menggambarkan kwalitas kemanusiaan yang sempurna ini. Ibrahim AS telah rela dibakar hidup- hidup karena kalimah "Laa ilaaha illa Allah" ini; telah sedia diusir dari tanah airnya, telah rela dipindahkan ke tanah gersang yang tak memberikan kehidupan di lembah bukit Faran (Makkah), telah rela dipisahkan dengan anak tunggalnya Isma'il AS dan isterinya Sitti Hajar, telah rela menyembelih anaknya Isma'il AS. Scmua ini dilakukan hanya karena penghayatan beliau akan sikap "Laa ilaaha illa Allah", tiada tuhan bagiku selain Allah SWT.
Karena itu beliau telah mendapat kehormatan yang tertinggi dari seluruh manusia. Demikian Allah telah memerintahkan setiap Muslim bershalawat kepada Ibrahim (salaamun 'ala Ibrahim), sebagai BAPAK KEMERDEKAAN atau BAPAK KEMANUSIAAN yang pertama dan paling utama bagi seluruh manusia.
b. Ajaran Nabi Muhammad SAW pun dikatakan merupakan lanjutan ajaran Nabi Ibrahim AS (Millata Ibrahim). Pokok ajaran Ibrahim AS merupakan missi utama Muhammad SAW. Di dalam al-Qur'an dijelaskan, bahwa bangsa Quraish, yaitu anak cucu Nabi Ibrahim melalui putera pertama beliau Nabi Isma'il AS mempunyai kelebihan khusus. Nabi Ibrahim diperintahkan Allah SWT mengembara menuju lembah bukit Faran yang ketika itu dinamai orang Al-Bakkah, yang artinya lembah "tangisan". Lembah dengan tanahnya yang gersang itu tidak memberikan kehidupan sama sekali, sehingga setiap kafilah yang kehabisan bekal ketika sampai ke tempat itu pasti akan mengalami mati kelaparan dan kehausan. Ibrahim AS membawa isteri beliau Siti Hajar ke sana semata demi mematuhi perintah Allah. "Aku pergi memenuhi perintah Tuhanku, Yang akan menunjuki aku." (Q. 37: 99).



You May Also Like

0 komentar

Postingan Populer